Kamis, 24 Januari 2008

Nutrisi Ternak Perah

KEBUTUHAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT

BAGI TERNAK PERAH


Kebutuhan hijauan pada setiap jenis ternak berbeda-beda. Ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba memerlukan jumlah hijauan yang lebih banyak dari pada ternak non ruminansia seperti ; babi, kuda, unggas, dan lainnya. Pada umumnya jumlah hijauan yang diberikan pada ternak tersebut adalah 10 % dari berat hidup, sedangkan makanan penguat misalnya konsentrat hanya diberikan 1 % saja dari berat hidup.

Kebutuhan ternak perah akan zat makanan terdiri atas 2 bagian, Pertama, kebutuhan hidup pokok (maintainance repoirements), yaitu kebutuhan untuk memelihara keutuhan organ dan fungsi tubuh, dalam arti kata kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Kedua, kebutuhan produksi (pertumbuhan, produksi air susu, dan sebagainya).

Mengingat kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan erat kaitannya dengan ukuran tubuh, antara lain bobot hidup, maka formulasi ransum ternak perah menuntut pengetahuan tentang bobot hidup itu. Sapi perah betina dapat beranak untuk pertama kalinya pada umur 2,5 tahun.

Setelah melahirkan dapat diperah denagn sela 10 bulan, menjelang kelahiran berikutnya dikering kandangkan selama 2 bulan.

Sapi laktasi muda untuk menghasilkan air susu yang sama banyaknya membutuhkan masukan zat makanan lebih banyak, karena sapi tersebut bobotnya lebih kecil sehingga kebutuhan hidup pokoknya per kilo bobot hidupnya.

1. Kebutuhan akan Bahan Kering (BK)
Dalam memberi makan, kita perlu mempunyai perkiraan berapa jumlah makanan yang layak diberikan kepada ternak. Pemberian makanan yang terlalu sedikit atau terlalu banyak jelas akan merugikan. Jumlah pemberian ransum (hijauan + konsentrat) dapat diperkirakan dari kebutuhan akan bahan kering (BK).

2. Kebutuhan akan energi
Energi merupakan sumber tenaga bagi semua proses hidup dan produksi. Kekurangan energi pada usia muda akan menghambat pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin. Pada sapi laktasi, kekurangan energi akan menurunkan produksi dan bobot hidup. Defisiensi yang parah dapat mengganggu reproduksi.

3. Kebutuhan akan Protein Kasar (PK)
Dahulu kebutuhan sapi perah akan protein dinyatakan sebagai kebutuhan akan protein dapat dicerna. Namun demikian terbukti bahwa protein dapat dicerna itu erat sekali dengan kandungan Protein Kasar (PK).

4. Kebutuhan akan mineral Ca dan P
Jenis mineral yang dibutuhkan sapi perah banyak sekali. Kemajuan ilmu dan teknologi telah mengungkapkan beberapa mineral yang semula diduga tak berguna ternyata kemudian sangat besar manfaatnya.

5. Kebutuhan akan vitamin
Karena adanya mikroorganisme dalam rumen yang dapat menghasilkan vitamin-vitamin yang dibutuhkan sapi, vitamin yang dibutuhkan hanyalah vitamin A dan D. namun demikian provitamin D yang ada di bawah kulitnya, jika terkena ultraviolet sinar matahari akan diubah menjadi vitamin D. Maka, yang dibutuhkan oleh sapi perah hanya vitamin A saja. Dalam hijauan segar banyak terdapat zat karotinoid, terutama beta-karotin yang merupakan provitamin A yang aktif. Dalam tubuh, beta-karotin tersebut dapat diubah menjadi vitamin A aktif.

Baca Selengkapnya..

Jumat, 07 Desember 2007

Pemanfaatan Onggok

Pemanfaatan Onggok untuk Pakan Unggas

Onggok merupakan hasil samping dari pembuatan tapioka ubi kayu. Karena kandunganproteinnya rendah (kurang dari 5%), limbah tersebut belum dimanfaatkan orang. Namun dengan teknik fermentasi, kandungan proteinnya dapat ditingkatkan. Sehingga onggokyang terfermentasi, dapat digunakan sebagai bahan baku pakan unggas. Ketersediaan onggok terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka.

Hal ini diindikasikan dengan semakin meluasnya areal penanaman dan produksi ubikayu. Produksi ubikayu mengalami peningkatan dari 13,3 juta ton pada tahun 1990 menjadi 19,4 juta ton pada tahun 1995. Setiap ton ubikayu dapat dihasilkan 250 kg tepung tapioka dan 114 kg onggok. Dan onggok ini merupakan limbah pertanian yang sering menimbulkan masalah lingkungan, karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik.

Penggunaan onggok untuk bahan baku penyusunan pakan ternak masih sangat terbatas, terutama untuk hewan monogastrik. Hal ini disebabkan kandungan proteinnya yang rendah disertai dengan kandungan serat kasarnya yang tinggi (lebih dari 35%). Dengan proses bioteknologi dengan teknik fermentasi dapat meningkatkan mutu gizi dari bahan-bahan yang bermutu rendah. Misalnya, produk fermentasi dari umbi ubikayu (Cassapro/ Cassava protein tinggi), memiliki kandungan protein 18-24%, lebih tinggi dari bahan asalnya ubikayu, yang hanya mencapai 3%. Demikian juga, onggok terfermentasi juga memiliki kandungan protein tinggi yakni 18% dan dapat digunakan sebagai bahan baku ransum ayam ras pedaging.

Onggok Terfermentasi

Salah satu teknologi altematif untuk dapat memanfaatkan onggok sebagai bahan baku pakan ternak adalah dengan cara mengubahnya menjadi produk yang berkualitas, yaitu melalui proses fermentasi. Proses tersebut dapat dilakukan secara semi padat dengan menggunakan kapang Aspergillus niger sebagai inokulum, ditambah campuran urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen anorganik. Menurut Supriyati (2003), sebelum difermentasi onggok tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu, sampai kadar airnya maksimal 20% dan selanjutnya digiling. Untuk setiap 10 kg bahan baku pakan dibutuhkan 80 gram kapang A. niger dan 584,4 gram campuran mineral anorganik.

Sedang untuk preparasinya adalah sebagai berikut: 10 kg onggok kering giling dimasukkan ke dalam baskom besar (ukuran 50 kg). Selanjutnya ditambah 584,4 gram campuran mineral dan diaduk sampai rata. Kemudian ditambah air hangat sebanyak delapan liter, diaduk rata dan dibiarkan selama beberapa menit. Setelah agak dingin ditambahkan 80 gram A. niger dan diaduk kembali. Setelah rata dipindahkan ke dalam baki plastik dan ditutup. Fermentasi berlangsung selama empat hari. Setelah terbentuk miselium yang terlihat seperti fermentasi tempe, maka onggok terfermentasi dipotongpotong, diremas-remas dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 derajat C dan
selanjutnya digiling.

Setelah dianalisa kandungan nutriennya, antara onggok dan onggok terfermentasi berbeda. Yaitu, kandungan protein kasar dan protein sejati, masing-masing meningkat dari 2,2 menjadi 25,6 dan 18,4%. Sedang karbohidratnya menurun dari 51,8 menjadi 36,2% (Tabel1).

Hal ini terjadi karena selama fermentasi, kapang A. niger menggunakan zat gizi (terutama karbohidrat) untuk pertumbuhannya. Dan kandungan protein meningkat dari 2,2 menjadi 18,4%, dengan menggunakan urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen.

Aman Untuk Unggas

Penggunaan onggok fermentasi sampai dengan 10% dalam formulasi pakan ayam pedaging masih aman dan tidak menimbulkan dampak negatif. Artinya aman untuk dikonsumsi oleh ayam.

Pada percobaan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), digunakan 144 ekor ayam pedaging umur tiga hari, dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Masing-masing perlakuan (P1, P2 dan P3) diberi formula pakan dengan tiga tingkatan onggok terfermentasi yang berbeda. Yaitu, P1: 0% (kontrol), P2: 5,0% dan P3: 10,0% (onggok terfermentasi) dalam pakan. Namun kandungan protein kasar dari ransum tersebut telah diperhitungkan dan untuk tiap-tiap formula adalah sebagai berikut: P1: 20,7%, P2: 21,04% dan P3: 21,05%. Percobaan dilakukan selama empat minggu. Dari uji biologis tersebut menunjukkan bahwa, kinerja ayam pada semua kelompok, selama percobaan cukup baik dan tidak dijumpai adanya kematian ayam. Sedang pertambahan bobot badan dari kelompok ayam yang memperoleh pakan onggok terfermentasi 10% (P3) sebesar 960 gram. Dan ini tidak berbeda nyata dengan kelompok ayam P2 (5% onggok terfermentasi). Pada kedua pertakuan (P2 dan P3), juga tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (0% onggok terfermentasi), yang mempunyai bobot hidup sebesar 988 gram.

Konsumsi pakan juga tidak berbeda antar perlakuan dan selama perlakuan konsumsi pada kel. P1, P2 dan P3, masing-masing adalah 1882, 1912 dan 1869 gram. Sedang untuk nilai konversi pakan adalah 1,90 untuk semua perlakuan. Dengan demikian, maka onggok terfermentasi sampai dengan 10% dapat digunakan dalam formulasi pakan ayam pedaging. Dan terhadap persentase bobot karkas, bobot hati dan rempela juga tidak ada perbedaan yang nyata.

Namun, pemberian lebih tinggi dari 10%, perlu pengkajian lebih lanjut. Sebab pada penelitian sebelumnya pernah dilaporkan bahwa, penggunaan cassapro ubikayu, lebih dari 10% dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pertambahan bobot badan maupun konversi pakan.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, mutu onggok dapat ditingkatkan sebagai bahan baku pakan sumber protein, yang pemanfaatannya dapat dikembangkan pada tingkat peternak. Bila ditinjau dari aspek kandungan proteinnya, maka kemungkinan ke depan, penggunaan onggok terfermentasi untuk pakan unggas memiliki prospek yang baik dan diharapkan dapat menggantikan jagung/dedak atau polard.

Sumber : Drh . Tarmudji, MS

Baca Selengkapnya..

Kamis, 29 November 2007

BUDIDAYA TERNAK

SAPI PERAH

1. Sejarah Singkat
Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili Bovidae. seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa.

Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni.

Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik sapi Madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi Red Deen. Persilangan lain yaitu antara sapi lokal (peranakan Ongole) dengan sapi perah Frisian Holstein di Grati guna diperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia.

2. Sentra Peternakan
Sentra peternakan sapi di dunia ada di negara Eropa (Skotlandia, Inggris, Denmark, Perancis, Switzerland, Belanda), Italia, Amerika, Australia, Afrika dan Asia (India dan Pakistan). Sapi Friesian Holstein misalnya, terkenal dengan produksi susunya yang tinggi (+ 6350 kg/th), dengan persentase lemak susu sekitar 3-7%. Namun demikian sapi-sapi perah tersebut ada yang mampu berproduksi hingga mencapai 25.000 kg susu/tahun, apabila digunakan bibit unggul, diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, lingkungan yang mendukung dan menerapkan budidaya dengan manajemen yang baik. Saat ini produksi susu di dunia mencapai 385 juta m2/ton/th, khususnya pada zone yang beriklim sedang. Produksi susu sapi di PSPB masih kurang dari 10 liter/hari dan jauh dari standar normalnya 12 liter/hari (rata-ratanya hanya 5-8 liter/hari).

3. Jenis
Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius, yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus.

Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia).

Hasil survei di PSPB Cibinong menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein.

4. Manfaat
Peternakan sapi menghasilkan daging sebagai sumber protein, susu, kulit yang dimanfaatkan untuk industri dan pupuk kandang sebagai salah satu sumber organik lahan
pertanian.

5. Persyaratan Lokasi
Lokasi yang ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang serta dekat dengan lahan pertanian. Pembuatannya dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah atau ladang.

6. Pedoman Teknis Budidaya
1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.

Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.

Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.

Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahanbahan lainnya.

Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).

2.Pembibitan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai eturunan produksi susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik, apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelokkelok, puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan (h) tiap tahun beranak.

Sementara calon induk yang baik antara lain: (a) berasal dari induk yang menghasilkan air susu tinggi, (b) kepala dan leher sedikit panjang, pundak tajam, badan cukup panjang, punggung dan pinggul rata, dada dalam dan pinggul lebar, (c) jarak antara kedua kaki belakang dan kedua kaki depan cukup lebar, (d) pertumbuhan ambing dan puting baik, (e) jumlah puting tidak lebih dari 4 dan letaknya simetris, serta (f) sehat dan tidak cacat.

Pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur sekitar 4- 5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai sifat-sifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar, punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h) paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya cukup lebar, (j) badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat pada keturunannya.
1) Pemilihan bibit dan calon induk
Untuk mengejar produktivitas ternak yang tinggi, diperlukan perbaikan lingkungan hidup dan peningkatan mutu genetik ternak yang bersangkutan.
Bibit yang baru datang harus dikarantina untuk penularan penyakit. Kemudian bibit diberi minum air yang dicampur garam dapur, ditempatkan dalam kandang yang bersih dan ditimbang serta dicatat penampilannya.
2) Perawatan bibit dan calon induk
Seluruh sapi perah dara yang belum menunjukkan tanda-tanda birahi atau belum bunting setelah suatu periode tertentu, harus disisihkan. Jika sapi yang disisihkan tersebut telah menghasilkan susu, sapi diseleksi kembali berdasarkan produksi susunya, kecenderungan terkena radang ambing dan temperamennya.
3) Sistim Pemuliabiakan
Seringkali sapi perah dara dikawinkan dengan pejantan pedaging untuk mengurangi risiko kesulitan lahir dan baru setelah menghasilkan anak satu dikawinkan dengan pejantan sapi perah pilihan. Bibit harus diberi kesempatan untuk bergerak aktif paling tidak 2 jam setiap hari.

3.Pemeliharaan
1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas. Sapi perah yang dipelihara dalam naungan (ruangan) memiliki konsepsi produksi yang lebih tinggi (19%) dan produksi susunya 11% lebih banyak daripada tanpa naungan. Bibit yang sakit segera diobati karena dan bibit yang menjelang beranak dikering kandangkan selama 1-2 bulan.
2. Perawatan Ternak
Ternak dimandikan 2 hari sekali. Seluruh sapi induk dimandikan setiap hari setelah kandang dibersihkan dan sebelum pemerahan susu. Kandang harus dibersihkan setiap hari, kotoran kandang ditempatkan pada penampungan khusus sehingga dapat diolah menjadi pupuk. Setelah kandang dibersihkan, sebaiknya lantainya diberi tilam sebagai alas lantai yang umumnya terbuat dari jerami atau sisa-sisa pakan hijauan (seminggu sekali tilam tersebut harus dibongkar).
Penimbangan dilakukan sejak sapi pedet hingga usia dewasa. Sapi pedet ditimbang seminggu sekali sementara sapi dewasa ditimbang setiap bulan atau 3 bulan sekali. Sapi yang baru disapih ditimbang sebulan sekali. Sapi dewasa dapat ditimbang dengan melakukan taksiran pengukuran berdasarkan lingkar dan lebar dada, panjang badan dan tinggi pundak.
3. Pemberian Pakan
Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a) sistem penggembalaan (pasture fattening)
b) kereman (dry lot fattening)
c) kombinasi cara pertama dan kedua.
4. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat.
Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, alfalfa, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB.
Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).
Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur, kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari.
Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan per hari.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara kereman dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
5. Pemeliharaan Kandang
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.
Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.

HAMA DAN PENYAKIT

1. Penyakit

a. Penyakit antraks
Penyebab: Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan.
Gejala: (1) demam tinggi, badan lemah dan gemetar; (2) gangguan pernafasan; (3) pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul; (4) kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan vagina; (5) kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; (6) limpa bengkak dan berwarna kehitaman.
Pengendalian: vaksinasi, pengobatan antiiotika, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur/membakar sapi yang mati.
b. Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae epizootica (AE)
Penyebab: virus ini menular melalui kontak langsung melalui air kencing, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE.
Gejala: (1) rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3) nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar berlebihan.
Pengendalian: vaksinasi dan sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.
c. Penyakit ngorok/mendekur atau penyakit Septichaema epizootica (SE)
Penyebab: bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri.
Gejala: (1) kulit kepala dan selaput lendir lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan; (2) leher, anus, dan vulva membengkak; (3) paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua; (4) demam dan sulit bernafas sehingga mirip orang yang ngorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam.
Pengendalian: vaksinasi anti SE dan diberi antibiotika atau sulfa.
d. Penyakit radang kuku atau kuku busuk (foot rot)
Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor.
Gejala: (1) mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh; (2) kulit kuku mengelupas; (3) tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit; (4) sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.

2. Pencegahan Serangan
Upaya pencegahan dan pengobatannya dilakukan dengan memotong kuku dan merendam bagian yang sakit dalam larutan refanol selama 30 menit yang diulangi seminggu sekali serta menempatkan sapi dalam kandang yang bersih dan kering.

P A N E N

1. Hasil Utama
Hasil utama dari budidaya sapi perah adalah susu yang dihasilkan oleh induk betina.
2. Hasil Tambahan
Selain susu sapi perah juga memberikan hasil lain yaitu daging dan kulit yang berasal dari sapi yang sudah tidak produktif serta pupuk kandang yang dihasilkan dari kotoran ternak.

PASCA PANEN

1. Analisa Ekonomi Budidaya Tanaman

a. Analisis Usaha Budidaya
Usaha ternak sapi perah di Indonesia masih bersifat subsisten oleh peternak kecil dan belum mencapai usaha yang berorientasi ekonomi. Rendahnya tingkat produktivitas ternak tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/ketrampilan petani yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem recording, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit. Selain itu pengetahuan petani mengenai aspek tata niaga harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya.

Produksi susu sapi di dunia kini sudah melebihi 385 juta m2/ton/th dengan tingkat penjualan sapi dan produknya yang lebih besar daripada pedet, pejantan, dan sapi afkiran. Di Amerika Serikat, tingkat penjualan dan pembelian sapi dan produknya secara tunai mencapai 13% dari seluruh peternakan yang ada di dunia. Sementara tingkat penjualan anak sapi (pedet), pejantan sapi perah, dan sapi afkir hanya berkisar 3%. Produksi susu sejumlah itu masih perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia ini.

Untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi maka pengelolaan dan pemberian pakan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan ternak, dimana minimum pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak (terserap) diusahakan sekitar 3,5- 4% dari bahan kering.

b. Gambaran Peluang Agribisnis
Usaha peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi yang dipelihara minimal sebanyak 6 ekor, walaupun tingkat efisiensinya dapat dicapai dengan minimal pengusahaannya sebanyak 2 ekor dengan ratarata produksi susu sebanyak 15 lt/hari. Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pembudidayaan sapi perah tersebut dapat juga dilakukan dengan melakukan diversifikasi usaha. Selain itu melakukan upaya kooperatif dan integratif (horizontal dan vertikal) dengan petani lainnya dan instansiinstansi lain yang berkompeten, serta tetap memantapkan pola PIR diatas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. [ ]. Pedoman beternak sapi perah. Purwokerto, Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak. 2 hal. (brosur).
2. Anonim. 1983. Petunjuk cara-cara penggunaan obat-obatan ternak. Samarinda, Dinas Peternakan Kalimantan Timur. 12 hal.
3. Anonim. 1988. Kondisi peternakan sapi perah dan kualitas susu di pulau Jawa. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 39-40.
4. Anonim. 1988. Pemerahan, satu faktor penentu jumlah air susu. Swadaya Peternakan Indonesia, (42) 1988: 23-24.
5. Anonim. 1988. Upaya peningkatan kesejahteraan peternak melalui peningkatan efisiensi produksi. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 16-24.
6. Bandini, Yusni. 1997. Sapi Bali. Cet 1. Jakarta, Penebar Swadaya. 73 hal.
7. Church, D.C. 1991. Livestock feeds and feeding. 3 ed. New Jersey, Prentice-Hall, Inc.: 278-279.
8. Djaja, Willian. 1988. Hidup bersih dan sehat di peternakan sapi perah. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 25-26.
9. Djarijah, Abbas Sirega. 1996. Usaha ternak sapi. Yogyakarta, Kanisius. 43 hal.
10. Fox, Michael W. 1984. Farm animals: husbandry, behavior, and veterinary practice. Baltimore Maryland, University Park Press: 82-112; 150.
11. Ginting, Eliezer. 1988. Bimbingan dan penyuluhan usaha sapi perah rakyat di Jawa Timur. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 27-33.
12. Hehanussa, P.E. 1995. Rencana induk Life Science Center-Cibinong. Limnotek, 3 (1) 1995: 1-34.
13. Hermanto. 1988. Bagaimana cara penanganan sapi perah pada masa kering? Swadaya Peternakan Indonesia, (42) 1988: 24-25.
14. Nienaber, J.A., et al. 1974. Livestock environment affects production and health. Proceedings of the International Livestock Environment Conference. St. Joseph, American Society of Agricultural Engineers.
15. Pane, Ismed. 1986. Pemuliabiakan ternak sapi. Jakarta, PT. Media: 1-38; 133.
16. Sabrani, M. 1994. Teknologi pengembangan sapi Sumba Ongole. Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: 15-26.
17. Suryanto, Bambang; Santosa, Siswanto Imam; Mukson. 1988. Ilmu Usaha Peternakan. Semarang, Fakultas Peternakan UNDIP. 63 hal.
18. Warudjo, Bambang 1988. Kualitas dan harga susu. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 34-38.

KONTAK HUBUNGAN
1. Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan – BAPPENAS
Jl.Sunda Kelapa No. 7 Jakarta, Tel. 021 390 9829 , Fax. 021 390 9829
2. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek, Gedung II BPPT Lantai 6, Jl. M.H.Thamrin No. 8, Jakarta 10340, Indonesia, Tel. +62 21 316 9166~69, Fax. +62 21 310 1952, Situs Web: http://www.ristek.go.id

Sumber :
Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas.

Baca Selengkapnya..

Vocalization

Vocalization

Mc Arthur ( 1992) defines that vocalization is the study of nonverbal cues of the voice that produces special sounds like groans, sigh, cry, laugh, yell, whistle, swallow, cough, etc (p. 1092). Moreover, he also states that voice itself as vocal sound means the typical sound of some speaking, the product of the vibration of the vocal cord, mouth, nose, tongue and such qualities as huskiness and throatiness (p. 1094).

According to Crystal ( 1991) in Dictionary of Linguistics and Phonetics, vocalization is a general term used in linguistics and phonetics to refer to an utterance viewed solely as a sequence of sound. No reference is made to its linguistic structure, and indeed, in such phrases as “infant vocalization”. There may be no such structure. (p. 374). This term is sometimes used to refer to the use of sound involving vocal cord vibration. Then, it is called any voice sound.

Emotional Expression
Emotion is an affective state of consciousness in which joy, sorrow, fear, hate or the like is experienced as distinguish from cognitive and volitional states of consciousness (Yerkes, 1989, p. 467). While, Mc Arthur (1992) defines expression as the act of process of using language or some other medium of communication. An inclusive term for a word, phrase, form of words, idiom, usage, etc (p. 394). Sometimes emotion needs expression especially when the speaker has sudden feeling. The speaker will express it spontaneuosly. Based on the above definition, we can conclude that emotional expression is a representation of one’s feeling into words, phrase, or sentences.

Function of Nonverbal Communication in the Communication Process
Knapp (1972) states that nonverbal communication cannot be studied in isolation from the total communication process. Verbal and nonverbal communication should be treated as a total and inseparable unit (p. 8-9). In social interaction, verbal behaviour needs supporting from nonverbal behaviour.
Moreover, Tubbs and Moss (1996) in the book “Human Communication” argues that basically nonverbal message functions as substituting, accenting, or contradicting its verbal message. Generally, when people are in the face of two inappropiate messages, they prefer to believe nonverbal message (p. 114).

Definition of Communication
According to Yerkes (1996), communication is giving sucessfully thought, feeling,ideas, or information to others through speech or writing, bodily or signal (p. 271). It means that communication here is as the way human communicates to others. They can share their feeling, thought, ideas or infromation to others by using their speech, body movement or writing.

Furthermore, in Kamus Komunikasi, Effendy (1989) also states:
Komunikasi berasal dari bahasa Latin “communicatio” yang berarti pergaulan, persatuan, peran serta, kerjasama, bersumber dari istilah komunis yang berarti sama makna merupakan sebuah proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dsb yang dilakukan seseorang kepada orang lain baik langsung secara tatap muka maupun tidak langsung melalui media dengan tujuan mengubah sikap, pandangan/perilaku (p. 245).

Comunication is derived from Latin “communicatio”, which means association, unity, participation, and cooperation,comes from “communis” term that means synonim as a process of conveying a message in form of meaningful sign as the combinaton of thought and feel in form of ideas, information, faith, hopes, suggestion and so on, which have been done by someone to others directly in face to face interaction or indirectly through a media in order to change the view/attitude. (translated by the writer).

Here, communication means a process of sending message ( feeling, idea, information and so on) from one to others directly or indirectly. It is clear that communication is a process of how human being sends message or information and communicates to other people.

Categories of Communication
Generally, many linguists classify communication into two categories, namely verbal and nonverbal communication. According to Effendy (1989)
Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang dilancarkan seseorang tanpa menggunakan lambang bahasa sebagaimana lazimnya, melainkan dengan lambang kial, gambar, warna, dll. Misalnya isyarat dengan asap seperti yang dilakukan oleh orang-orang Indian, dan isyarat memukul beduk menandakan waktu shalat sudah tiba yang dilakukan oleh umat Islam didesa-desa dan tempat lain. Sementara itu, komunikasi verbal merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan bahasa simbol (tulisan) atau bahasa lisan (p. 247).

Nonverbal communication is the communication which is used by someone without using the common language symbol, but by using gesture, picture, color, etc. For instance, a sign of smoke for Indian in the forest, and striking a drum at the mosque to summon to prayer by moslem people in the village and other countries. While verbal communication is a communication which is used by someone by using language symbol (written) or spoken language.(translated by the writer).

Different from categories mentioned above, Tubbs and Moss (1980) argues that there are four types of communication (p. 112-113), they are:
1. Vocal verbal communication : system of communication through the words which are spoken, such as between a father and his son who are discussing about their planning to buy a new car.
2. Non vocal verbal communication : words which are used but not spoken. For example: written language that is used in the letter.
3. Vocal nonverbal communication: special sounds which are spoken. For example: gripes and vocalizations.
4. Nonvocal nonverbal communication: including attitute, perfomance, and gesture only.

Boundaries of Nonverbal Communication
According to Knapp (1972), nonverbal communication is related to words which are not spoken or written (p. 5). Then, he categorizes nonverbal communication into seven types, they are:
1. Body motion or kinesics behaviour
Body motion or kinesics behaviour typically includes gestures, movements of the body, limbs, hands, head, feet, and legs, facial expressions (smiles), eye behaviour (blinking, direction and length of gaze, and pupil dilation) and posture.
2. Physical Characteristics
Physical characteristics cover things, which remain relatively unchanged during the period of interaction. Physical characteristics themselves include such things as: physical type or body shape, general attractiveness, body or breath odour, height, weight, hair, and skin colour or tone.
3. Touching behaviour
Touching behaviour includes hitting, greetings and farewells, holding, guiding another’s movement, and other more specific instances.
4. Paralanguage
Paralanguage deals with how something is said and not what is said. It deals with the range of nonverbal vocal cues surrounding common speech behaviour. Paralanguage can be divided into two types, such as: voice qualities and vocalizations.
5. Proxemics
Proxemics is generally considered to be the study of man’s use and perception of his social and personal space. This study deals with seating arrangements, and spatial arrangements as related to leadership, communication flow, and the task at hand.
6. Artifacts
Artifacts include the manipulation of objects in contact with the inter-acting persons, which may act as nonverbal stimuli. Artifacts can include lipstick, eye-glasses, eyeliners and others.
7. Environmental factors
This factor includes the furniture, architecture style, interior decorating, lighting conditions, smells, colors, temperature, additional music, etc.

Paralanguage
Paralanguage refers to communication that goes beyond the specific spoken words. It is made of sounds that sometimes do not have a written form. It also reminds us that people convey their feelings not only in what they say, but also in how they say it. The way they can manipulate their voice in saying something includes like: pitch height, intensity, and extent or length. Knapp (1972) says that paralanguage deals with how something is said and not what is said. It deals with the range of nonverbal vocal cues surrounding common speech behavior (p. 7). Furthermore, Trager (1958), (in Knapp, 1972, 7) classifies paralanguage into the following components.

A. Voice Qualities
This voice quality includes such things as pitch range, pitch control, rhythm control, tempo, articulation control, resonance, glottis control, and vocal lip control.

B. Vocalizations
Mc Arthur ( 1992) defines vocalization as the study of nonverbal cues of the voice produces special sounds, like: groans, sigh, cry, laugh, yell, whistle, swallow, cough, etc (p. 1092). Moreover, he also states that voice itself as vocal sound that means the typical sound of some speaking, the product of the vibration of the vocal cords, mouth, nose, tongue and such qualities as huskiness and throatiness (p. 1094). Furthermore, Trager (1958) classifies vocalizations into three types, they are :
1). Vocal characterizers
This vocal characterizer includes such thing as laughing, crying, sighing, yawning, belching, swallowing, heavily marked inhaling or exhaling, coughing, clearing of the throat, hiccupping, moaning, groaning, whining, yelling, whispering, sneezing, snoring, stretching, etc.
2). Vocal qualifiers
According to Crystal ( 1991: 376) in dictionary of linguistics and phonetics, vocal qualifiers is a term used by some linguists as part of their analysis of the paralinguistic features of the voice. For example: the expression of various emotional states, such as: anger or sarcasm by means of vocal effect like harsh or tense quality. Moreover, Trager (1958) stated that it includes intensity (overloud to over soft), pitch height (overhigh to over low), and extent (extreme drawl to extreme clipping).
3). Vocal segregates
These are such thing as “uh-huh, “ “um,” “uh”, “ah” and variant thereof.

Theories of Acoustics Sounds
Physically, a sound is produced whenever there is a disturbance in the position of air molecules. There are sounds that we cannot hear because our ears are not sensitive to all changes in air pressure. Hence, they can be also described in physical or acoustic terms (Fromkin and Rodman, 1990, p. 406). Sounds are distinguished basically in terms of three dimensions: their amplitudo or loudness, measured in decibels (dB); their pitch or frequency, measured in Hertz (Hz); and their duration ot length measured in miliseconds (msec). (Hawkins, 1984, p. 77)
In this case, acoustics phonetics concerns with any speech sounds, all of sounds which can be heard by normal human’s ear. An important tool in acoustic research is a sound spectograph and the patterns produced called spectogram. It gives a visual presentation of the sound for a particular utterance. A time is shown a long the bottom of picture, the vertical scale shows the frequency in Hz and the intensity shown by the darkness of the mark. (Ladefoged, 1975, p. 194-195). To make it clear, the following picture is the example of spectogram proposed by Ladefoged.

A spectograms of the words “heed, hid, head, had, hod, hawed, hood, who’d “ as spoken in british accent.

1. Intensity
Intensity is the amount of acoustics energy in a sound, corresponding to some degree with auditory phonetic feature of loudness. It also refers to the auditory property of a sound that enables a listener to place it on a scale going from soft to loud as well as loudness (Ladefoged, 1975, p. 292). Loudness of the voice can signal the emotional and attitude of the speaker. As Fromkin and Rodman (1990) says “loudness, just as the voice that is soft and low, can signal warm and friendliness, loud tones with a raised pitch will often be interpreted as overbearing or aggressive” (p. 88).
Moreover, Ladefoged (1975) also states that loudness of the sound depends on the size of the vibration in air pressure that occur (p. 292). Intensity is related to amplitudo of vibration ( the maximum movements away from the place of rest (O’Cornor, 1973, p. 81). It concerns with the proportion to the average size of the variations in air pressure. It is usually measured in Decibels, abbreviated as dB. So, Acoustic intensity is the appropriate measure corresponding to loudness.

2. Pitch
The sounds that people produce can be described in terms how fast the vibrations of air pressure occur. It determines the fundamental frequency of the sounds, which is perceived by the hearer called as pitch (Fromkin and Rodman, 1990, p. 406). Since, speakers of all languages vary the pitch of their voices when they talk, and the pitch produced depends upon how fast the vocal cords vibrate, the faster the vibrate is, the higher the pitch will be. And some individual speakers also have high-pitch voices, others low pitch and other medium pitch.
Furthermore, the other linguist also states the pitch of a sound depends on the rate of vibration of the vocal cords ( Ladefoged, 1975, p. 186). The pitch of a sound is that auditory property which enables a listener to place it on scale going from low to high. When a speech sound goes up in frequency, it also goes up in pitch. And, when vocal cords are vibrating, there are regularly spaced vertical lines on spectogram, because each opening and closing of the vocal cords causes peak of air pressure in the sound waves. It means that in a sound with a high pitch, there is a higher frequency of a vibration than in a sound with a lower pitch.
Many different kinds of information can be conveyed by variation in pitch. It conveys a great deal of nonlinguistics information about the speaker’s emotional feelings, whether the person is angry, happy, surprised, sad and so on. As yet, nobody knows if the pitch changes in conveying those kinds of information are universal. Related to this case, pitch is necessary to find meaning which is informed by the speaker.

3. Extent
In phonetic, extent refers to the length of time (duration) involved in uttering sounds. Crystal (1991) distinguishes between relatively long and relatively short duration in measurements unit of times, it is millisecond ( msec). In speech, the absolute duration of sounds is dependent on a considerable extent to the tempo of speaking (p. 115). The period of time which is needed to utter a sound from the beginning until the end is also called length of time or extent.. The actual length of sounds in speech is varies greatly.
Related to the Knapp’s theory, the length of time or extent is divided into two categories. They are drawling and clipping. A drawl Ye-a-h! or W-e-l-l ! can indicate insolence or reservation, whereas a clipped Nope! or certainly not! indicate sharpeness or irritation. Drawling or clipping can be used to change the literal meaning of an utterance. So, it can be said that to speak or to say something slowly with vowel sounds that are longer than usual is drawling. Meanwhile, clipping is a person’s way of speaking clear and fast in particular length of time but not very friendly to reduce the time.
Furthermore, Hall (1959) gives examples that people who often stop their conversation suddenly, full of any vocalization like: “mmm, eh or ah” will ruin their effectivenes as a communicator. The long time of stopping and many vocalizations appear in the middle of sending the idea can disturb and change the meaning intended by the speaker. If they use accenting and variation, “stop” means to affirm the nonverbal message, not to long time and silent, happened once at the end of idea particularly (in Tubbs and Moss, 1996, p. 146).

Emotional Expression
Talking about emotion, we deal with human feeling that could be experienced. It is one of human being characteristics that has existed since one’s birth. Speakers in many languages are able to produce expressed emotion.
Furthermore, in relation to vocal cues, Davitz (1959) gives the example of vocal cues associated with various emotional expressions from several isolated studies. Speakers tend to speak loudly in high pitch, fast in tempo, and clipped to express their emotion of anger. In other case, sadness can be expressed softly in volume, low pitch, slow rate, and slurred. (in Knapp 1972, p. 162)
According to Yerkes (1989), Emotion is an affective state of consciousness in which joy, sorrow, fear, hate or the like is experienced as distinguish from cognitive and volitional states of consciousness (p. 467). It is usually considered as a feeling about one’s reaction to certain important events or thoughts. Goleman (2006) classified it into eight primary emotions; they are anger, fear, sadness, disgust, surprise, love, embarrassment, and joy. (p. 411-412)
1. Anger
Hornby (1995) states that anger is a strong feeling of annoyance and hostility. Anger occurs when something has happened that we think is bad and unfair. This includes annoyance, irritation, exasperation, and offended. People express anger variously. One of the ways is by manipulating the voice. Sometimes the speaker’s voice is meaningful besides the words themselves. Shortness of breath, yelling, speech, faster motion, and more intense are symptoms of anger common occur. (p. 39)

2. Fear
Fear is an unpleasant feeling that is caused by the possibility of danger, pain, a threat, evil, etc (Hornby, 1995, p. 425). It is related to a number of emotional states including worry, anxiety, fright, panic, and, dread. These extreme feelings can usually be expressed by screaming, crying, or yelling. Then, the expression of fear is influenced by the context of situation when and where the utterances occur. The same emotion maybe expressed differently by different people at different time.

3. Sadness
Sadness is spontaneous feeling which may be caused by sorrow, melancholy, self-pity, loneliness, or despair (Hornby, 1995, p. 1035). The feeling of sadness can be seen through speaker’s voice characteristics and vocalizations, such as: crying, groaning, moaning, etc. Sometimes dissatisfaction or disappointment can be also as sadness, because something that we hoped has not happened. So, in this case, it is needed to include the context of situation to find the characteristics of sadness.

4. Disgust
Disgust is a strong feeling of dislike or disapproval for somebody/ something that you feel is unacceptable (something that looks, smells, touch unpleasant) (Hornby, 1995, p. 332). In other words, it is a powerful response that protects us from danger.

5. Surprise
Surprise is a feeling caused by something that happening suddenly or unexpectedly (Hornby, 1995, p. 1203). Commonly, surprise is just an event, a piece of news that comes directly or indirectly. Wide eyes are a common facial expression of surprise. Spontaneous surprise is often expressed for only a fraction a second. It may be followed immediately by the emotion of fear or joy, but depends on the context of situation.

6. Love
Love is a strong feeling of deep affection for somebody or something. (Hornby, 1995, p. 699). More casually, it can also be construed as a great affection for anything considered strongly pleasurable, desirable, or preferred, to include activities and foods. This emotional feeling includes acceptance, friendship, respect, and trust.

7. Embarrassment
Embarrassment is a feeling of being ashamed, awkward, or feels guilty for mistakes. (Hornby, 1995, p. 375). It is an emotional state experienced upon having a socially or professionally unacceptable act or condition witnessed by or revealed to others. Usually some amount of loss of honor or dignity is involved, but how much and the type depends on the embarrassing situation. It is include contemptible, mistake, disgrace.

8. Joy or Happiness
Joy is a feeling or expression of happiness, pleasure, contentment, and satisfaction (Hornby, 1995, p. 642). This includes happiness, joy, pride, rapture, and satisfaction. There are many ways to express happiness, such as laughing, yelling, smiling, crying, and screaming. According to Davitz (1959) (in Knapp 1972, p. 163), the characteristics of happiness in term of vocal paralanguage in expressing emotional or affective state, the voice tends to be: loud in volume, high in pitch, and medium in tempo. However, the way of expressing them can be different each other.
Furthermore, people are sometimes not fully aware of their own emotions. They communicate most of their emotions by means of words, a variety of other sounds, facial expressions, and gestures. Anger sometimes causes many people to frown, make a fist, and yell.

Functions of Nonverbal Communication
Knapp (1972) said that verbal and nonverbal communication must be learned together as a total an inseparable unit, since both of them support each other (p. 8-9). Moreover, he also stated that there are some functions of nonverbal communication toward verbal communication which is used in human interaction (p. 9-11), they are:
1. Repeating
Nonverbal communication can simple repeat what was said verbally. For instance, if you told a person that he had to go north to find a newspaper stand and then pointed in the proper direction. This would be considered repetition.

2. Contradicting
Nonverbal behavior can contradict verbal behavior. For instance, the parent who yells to his child in angry voice “Of course I love you!” or the person who is about to make a public speech whose hands and knees tremble, beads of perspiration from around his brow and with confidence he states “ I’m not nervous”.

3. Substituting
Nonverbal behavior can substitute the vocal verbal message. When someone sees her familiar friend wearing a certain facial expression, she does not need to ask, “ How’s it going?”. In the same way, experience has probably shown her that other kinds of looks, gestures, and other clues say, “I’m angry with you” or “I feel great” far better than words. Sometimes, when substitute nonverbal behavior fails, the communicator resorts back to the verbal level.

4. Complementing
Nonverbal behavior can modify, or elaborate on verbal messages. For example a student who was talking to his teacher. His head was bowed slightly, his voice was low and hesitating, and he shuffled slowly from foot to foot. It may be concluded that he felt inferior to the teacher, or embarassed about something he did.

5. Accenting
Nonverbal behavior may accent parts of the verbal messages much as underlining written words, or italicizing them, serves to emphasize them. When a father scolds his son about staying out too late at night, he may emphasize a particular phrase with a firm grip on the son’s shoulder and an accompanying frown on his face.

6. Relating and Regulating
Nonverbal communication is also used to regulate the communicative flow between the interactants. A head nod, eye movement, or shift in position-any one of these, or combination of them, may signal the other person to continue to speak or to stop speaking because you want to say something.

Context
Context takes an important role in finding the meaning of non verbal vocal cues in interpreting emotional expression of its speaker. As stated by Knapp (1972), “we rely on context to discriminate emotions with similar characteristics. Thus, when we are confronted with such cues, and no context, we find discriminations difficult.”(p. 162). In addition, Yule (1972) also states that:

Context is the physical environment in which a word is used. It is perhaps more easily recognized as having a powerful impact on how referring expressions that are interpreted. Context also takes an important role in circumtances and environment in which language is used. (p. 125)

Furthermore, Levinson (1978) also defines context as the surrounding condition in which something takes place. It can give a contribution to the hearer in interpreting what the speaker actually means (p. 23). So, to understand the emotional meaning from the speaker and its function towards verbal statement in pragmatic approach, context is important.

Baca Selengkapnya..

Proposal Penelitian

Pengaruh Suplementasi Mineral Zn Terhadap Karakteristik Cairan Rumen
(pH, VFA, NH3) dan Sintesis Protein Mikroba dari Ransum Yang Memakai Tongkol Jagung Amoniasi.
By ; Rifki Saputra


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan usaha peternakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sifat ternak yang dipelihara, manajemen pemeliharaan, dan makanan. Dewasa ini ketersediaan bahan makanan ternak mengalami berbagai kendala. Hal ini disebabkan karena adanya peralihan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri yang dapat mengurangi peluang penanaman rumput sebagai makanan utama bagi ternak ruminansia. Untuk mengatasi kelangkaan pakan ternak ruminansia maka perlu dicari pakan alternatif yang mempunyai nilai gizi yang layak, ketersediaannya kontiniu, dan harga terjangkau. Untuk itu perlu digali potensi bahan yang banyak tersedia salah satu diantaranya dengan memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan yaitu tongkol jagung.

Tongkol jagung
cukup potensial dijadikan pakan alternatif pengganti rumput karena mudah didapat, kandungan nutrisinya yang memadai dan ketersediaan yang cukup. Pada tahun 2004 produksi jagung di Indonesia telah mencapai 11.35 juta ton (Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hultikultura Deptan RI, 2004). Dari produksi 11.35 juta ton tersebut akan dihasilkan 2.27 juta ton tongkol jagung. Di Sumatera Barat menghasilkan 0.5 juta ton jagung tahun 2004 atau menghasilkan 100 000 kg tongkol jagung.

Penggunaan tongkol jagung dalam ransum sapi sebagai pengganti rumput hanya sampai 40 % (Parakkasi, 1999). Ini dikarenakan tongkol jagung tergolong pakan serat bermutu rendah, kecernaan dan palatabilitasnyapun rendah. Rendahnya kecernaan disebabkan kandungan lignin yang tinggi yang membentuk komplek dengan sellulosa dan hemisellulosa. Oleh karena itu agar nilai gizi dan kecernaannya dapat ditingkatkan perlu dilakukan pengolahan. Salah satu pengolahan tersebut adalah dengan menggunakan teknik amoniasi urea yaitu merupakan salah satu perlakuan alkali. Adanya perlakuan alkali dapat melepaskan ikatan lignisellulosa dan lignohemisellulosa sehingga ikatannya menjadi longgar, dengan demikian akan memudahkan mikroorganisme menfermentasi sellulosa dan hemisellulosa tongkol jagung.

Komar (1984) menyatakan bahwa perlakuan amoniasi urea dapat merenggangkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa sehingga bahan akan lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan nitrogen bahan untuk pertumbuhan mikroba rumen.

Dari beberapa penelitian terbukti bahwa amoniasi pakan dengan urea terhadap pakan serat mampu meningkatkan nilai manfaat dari pakan tersebut. Hasil penelitian Warly dkk. (1999) menunjukkan bahwa amoniasi dapat meningkatkan daya cerna jerami padi baik secara in-vitro, in-vivo, maupun in-sacco serta mengingkatkan konsumsi pakan dan pertumbuhan bobot badan ternak sapi. Hasil penelitian Zain, M dan Elihasridas (2001) mendapatkan bahwa penggunaan serat sawit amoniasi dalam ransum mampu memperbaiki pertambahan bobot badan ternak domba namun belum bisa menyamai rumput. Begitu juga pada tongkol jagung amoniasi, penggunaannya dalam ransum domba hanya mampu 70% dan masih rendah dibandingkan rumput (Elihasridas, 2004). Menurut hasil penelitian Elihasridas (2004) didapat bahwa penggunaan tongkol jagung amoniasi belum dapat menggantikan rumput sebagai pakan utama. Hal ini disebabkan kandungan tongkol jagung defisien akan mineral Zink (Zn).
Optimalisasi bioproses serat seperti tongkol jagung defisien akan mineral Zink (Zn), dimana mineral ini penting untuk pertumbuhan mikroba. Kandungan mineral ini sangat rendah bahkan sering defisien pada pakan berserat tinggi. Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap degradasi komponen zat makanan dan sintesis mikroba. Suplementasi mineral ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan. Peningkatan populasi mikroba rumen akan meningkatkan konsentrasi enzim-enzim tersebut sehingga mampu meningkatkan kecernaan bahan pakan sekaligus meningkatkan suplai protein mikroba bagi ternak induk semang. Sebagian besar (82%) mikroba rumen memerlukan N-amonia untuk pertumbuhan (Sutardi, 1997).

Mineral Zn merupakan mineral penting untuk mensintesis asam amino yang mengandung Zn (methionin, sistein, sistin). Sedangkan penelitian Zein, M (1999) penambahan Analog Hidroksi Methinin (AHM) sebagai sumber Zn memperlihatkan pengaruh positif terhadapat peningkatan populasi bakteri dan kecernaan bahan kering ransum.

Sintesis protein mikroba biasa dioptimalkan dengan menambah mineral penting untuk pertumbuhan. Kecukupan mineral untuk pertumbuhan mikroba terutama pada trnak yang menggunakan pakan dari limbah pertanian seperti tongkol jagung perlu diperhatikan, karena pakan seperti defisiensi akan mineral penting untuk pertumbuhan mikroba rumen yaitu (Preston ang Leng, 1987 ; Kosarczuk and Durand, 1991). Oleh karena itu kecukupan nutrient untuk mikroba terutama mineral Zn yang defisien pada pakan serat tomgkol jagung perlu kajian untuk mengetahui pengaruh terhadap pH, VFA, NH3 dan Sintesis Protein Mikroba.

Dari penelitian ini diharapkan akan memperleh taraf mineral Zn yang terbaik terhadap tongkol jagung amoniasi dalam rumen. Hasil penelitian ini juga akan memberikan solusi alternatif terhadap masalah pakan hijauan selama ini.

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh suplementasi mineral Zn terhadap karakteristik cairan rumen (pH, VFA, NH3) dan sintesis protein mikroba dari tongkol jagung amoniasi.

C. Perumusan Masalah
Tongkol jagung berpotensi dijadikan pakan ternak dalam segi jumlah, namun kandungan lignin dan hemisellulosa sehingga penggunaannya terbatas perlu dilakukan pengolahan. Namun pengolahan secara amoniasi belum memberi hasil yang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan nutrient yang penting untuk pertumbuhan mikroba rumen berupa mineral Zink (Zn) yang defisien pada tongkol jagung amoniasi.

D. Manfaat Penelitian
pH, VFA, NH3, dan sintesis protein mikroba rumen pada pengembangan ilmu nutrisi ternak ruminansia dan akan menjadi acuan dalam memberi informasi tentang teknologi pemanfaatan tongkol jagung amoniasi sebagai pakan ternak ruminansia sebagai pengganti rumput.

E. Hipotesa Penelitian
Dalam penelitian ini hipotesisnya adalah dari tongkol jagung amoniasi yang disuplementasi mineral Zink dapat meningkatkan kondisi cairan rumen yang normal.

Baca Selengkapnya..

Bahan Kuliah

ILMU NUTRISI UNGGAS By : Dr.Ir. Yose Rizal, MS

Pengertian
Ilmu gizi adalah ilmu pengetahuan yang memadukan biokimia dan fisiologi menjadi suatu konsep mengenai hubungan makhluk hidup dengan makanannya.

Nutrisi merupakan proses melengkapi sel makhluk hidup dengan zat-zat kimia yang diberikan dari luar agar makhluk hidup tersebut dapat berfungsi secara optimum dalam berbagai reaksi metabolisme untuk keperluan hidup pokok, pertumbuhan, berproduksi dan berketurunan.

Ilmu Nutrisi Unggas adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara unggas dengan makanannya atau ilmu tentang zat-zat dan bahan-bahan makanan, kebutuhan terhadap zat-zat makanan, dan cara mempersiapkan serta pemberian ransum untuk unggas.

Zat-zat Makanan yang Dibutuhkan Unggas
Karbohidrat, terutama pat
Lipid, terutama asam lemak linoleat
Protein, asam-asam amino esensil & semi esensil
Mineral
Air

ZAT-ZAT MAKANAN & ENERGI UNTUK UNGGAS

KARBOHIDRAT


Karbohidrat (KH) merupakan senyawa organik yang disusun oleh 3 unsur utama: C, H dan O dengan perbandingan 1 : 2 : 1. Kadang-kadang ada unsur tambahan seperti sulfur (S), nitrogen (N) dan fosfor (P).

Sebahagian dari KH ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi ternak unggas.
Kebutuhan KH bagi ternak unggas biasanya dinyatakan dalam bentuk kebutuhan energi.
Jenis Karbohidrat yang Bisa Dimanfaatkan Unggas

Monakarida :
Contoh : - Gula dengan 5 atom C ( arabinosa, ribosa dan xylosa)
- Gula dengan 6 atom C (glukosa, fruktosa, galaktosa dan mannosa)

Disakarida :
Contoh : - Sukrosa (glukosa + fruktosa)
- Laktosa (glukosa + galaktosa)
- Maltosa (glukosa + glukosa)
- Iso-maltosa (glukosa + glukosa)

Polisakarida : yaitu gula yang disusun oleh banyak molekul monosakarida biasanya
lebih dari 10.
Contoh : - Pati (amilosa dan amilo-pektin)
- Pentosan (araban dan xylan)
- Hemiselulosa
- Glikogen

Bahan Pakan Sumber Karbohidrat untuk Unggas
Biji-bijian/Sereal : jagung, gandum, padi, barley, sorghum, milo, millet, oat, rye, triticale .
Batang : sagu
Umbi-umbian : Ubi kayu, ubi talas, ubi jalar dan lain-lain
Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat oleh Unggas

PENCERNAAN :
Pada ayam pencernaan KH dimulai di tembolok yang mempunyai enzim alfa-amilase yang berasal dari kelenjar ludah. Alfa-amilase ini digunakan untuk memecah pati (amilosa) menjadi gula lebih sederhana yaitu dekstrin dan maltosa.

Di Proventikulus tidak terjadi pencernaan pati karena pH disini rendah (2 – 4), sehingga aktivitas enzim alfa-amilase menurun.

Di Ventrikulus/gizzard juga tidak terjadi pencernaan pati karena pH disini sekitar 2,6, sedangkan pH untuk aktivitas alfa-amilase di atas 4,5. Pencernaan hemiselulosa tetap berlanjut disini.

Di Gizzard ini terjadi pemecahan bahan makanan dan molekul KH secara mekanis dari partikel yang lebih besar menjadi partikel yang lebih halus, tetapi pemecahan secara enzimatis tidak terjadi.

Di Usus Halus terdapat bermacam enzim pencerna KH:
- Alfa-amilase
- maltase (glukosidase)
- isomaltase (oligo-1,6-glukosidase)
- sukrase (invertase)
- laktase

Pencernaan KH dalam usus halus unggas berlangsung pada bagian Jejunum karena pada bagian ini enzim-enzim pencerna KH mempunyai aktivitas tertinggi.

Berikutnya pada bagian Ileum dan paling rendah pada Duodenum. Rendahnya pencernaan KH pada bagian Duodenum disebabkan pH pada duodenum ini lebih rendah dari pada bagian lainnya, yaitu sekitar 4,0.

PENYERAPAN :
Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida, seperti: glukosa, fruktosa, galaktosa dan mannosa.

Glukosa dan galaktosa diserap lebih cepat karena ia menggunakan sistem transport aktif yang terikat pada protein pembawa (carrier) bersama-sama dengan sodium (Na)

Fruktosa dan mannosa diserap lebih lambat karena menggunakan transport pasif (secara diffusi) yang difasilitasi.

Tempat penyerapan utama pada bagian Jejunum

PROSES PEMECAHAN KARBOHIDRAT
1. Semua monosakarida yang diserap oleh usus halus akan memasuki lintasan glikolisis.
2. Hasil akhir glikolisis 2 asam piruvat dan 2 molekul ATP
3. Piruvat masuk ke dalam mitochondria dan diubah menjadi asetil-Co-A sebelum memasuki siklus Krebs.
4. Reaksi pada siklus Krebs yaitu: asetil CoA bersatu dengan OAA membentuk asam sitrat.
5. Selanjutnya asam sitrat berubah menjadi iso-sitrat, terus alfa-ketoglutarat, suksinil CoA, suksinat, fumarat, malat dan akhirnya terbentuk OAA kembali.
6. Pada siklus Krebs ini dihasilkan sebanyak 12 ATP.
7. Pembentukan ATP terjadi melalui proses transpor elektron.
8. Total ATP yang terbentuk pada pemecahan 1 molekul glukosa menjadi 6CO2 dan 6H2O yaitu 38 atau 36 ATP.
9. Energi yang dihasilkan KH yaitu 4,15 Kkal/gram KH, hampir sama dengan protein yaitu 4,10 Kkal/gram protein, sedangkan energi lemak 2,25 kali lebih besar dari pada energi yang dihasilkan KH atau protein, yaitu 9,40 Kkal/gram lemak.

PENYIMPANAN GULA DALAM TUBUH UNGGAS
• Gula disimpan dalam bentuk glikogen atau lemak
• Glikogen disimpan dalam hati dan otot rangka
• Lemak dalam jaringan lemak (adiposa) yang banyak terdapat dalam rongga perut dan di bawah kulit.

Sintesis glikogen:
Glukosa ---- Glukosa 6-P ----- Glukosa 1-P + UTP ----- UDP–Glukosa + PPi
UDP-glukosa + (glukosa )n -------- (glukosa) n+1 + UDP

SERAT KASAR UNTUK AYAM
Serat Kasar pada tanaman merupakan KH struktural yang terdiri dari : selulosa, hemi-selulosa dan lignin.

Selulosa disusun oleh sampai 5000 unit molekul glukosa yang dihubungkan oleh ikatan beta-1,4-glikosida.

Ikatan beta-1,4-glikosida hanya dapat dipecah oleh enzim selulase.

Dalam alat pencernaan unggas dan hewan tingkat tinggi lainnya tidak ada diproduksi enzim selulase ini.

Ternak ayam tidak dapat memanfaatkan serat kasar sebagai sumber energi.

Oleh karena itu pemberiannya dalam ransum unggas terbatas yaitu: 3 - 6% untuk ayam broiler dan sampai 8% untuk ayam petelur.

Serat kasar masih dibutuhkan dalam jumlah yang kecil oleh unggas yang berperan sebagai bulky, yaitu untuk memperlancar pengeluaran feses.

PEMBERIAN LAKTOSA DALAM RANSUM AYAM
Laktosa hanya dapat diberikan sampai 10% dalam ransum ayam karena jika lebih dapat menurunkan pertumbuhan. Terganggunya pertumbuhan ini disebabkan oleh dua hal :
1. Hidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa lambat karena jumlah enzim laktase pada saluran cerna (usus halus) ayam terbatas, akibatnya glukosa yang tersedia dalam darah menurun, sehingga energi menurun yang dapat menekan pertumbuhan.
2. Laktosa yang tidak dihidrolisis ini akan menumpuk dalam usus halus dan akan menarik air yang ada di sekitarnya karena sifatnya yang higroskopis. Keadaan seperti ini bagus untuk pertumbuhan mikroba yang dapat menimbulkan diare pada ayam. Akhirnya pertumbuhan ayam juga menurun.

GULA PENTOSA DALAM RANSUM AYAM
• Polimer gula dengan 5 atom C seperti araban dan xylan tidak bisa dicerna oleh ayam sebab ayam tidak memiliki enzim untuk mencerna golongan pentosan tersebut.
• Araban dan xylan ini bisa dipecah oleh larutan asam dalam proventrikulus dan ventrikulus menjadi arabinosa dan xylosa.
• Arabinosa dan xylosa ini bisa diserap oleh ayam, tetapi dalam jumlah terbatas. Untuk itu arabinosa dan xylosa tidak boleh lebih dari 10% dalam ransum.
• Jika lebih dari 10% dapat menimbulkan diare karena arabinosa dan xylosa ini bersifat higroskopis, yaitu menarik air yang ada disekitarnya. Kondisi seperti ini sangat disukai oleh mikroba dan tidak menguntungkan bagi saluran cerna unggas karena menimbulkan diare.

POLISAKARIDA BUKAN PATI (NON-STARCH POLYSACHARIDE = NSP)
a. Polisakarida bukan pati tak larut air.
Contoh: selulosa, hemiselulosa, lignin dan pectin.
b. Polisakarida bukan pati larut air.
Contoh: arabinoxylan atau pentosan

OLIGOSAKARIDA SULIT DICERNA :
1. raffinosa
2. stachyosa
3. Verbaskosa
Ketiganya banyak terdapat pada kacang kedelai.

LEMAK

Pendahuluan
Lemak atau lipid juga disusun oleh tiga unsur, yaitu C, H, O akan tetapi perbandingannya berbeda dengan karbohidrat (KH), dimana unsur oksigennya sedikit, sedangkan unsur karbon dan hidrogen lebih banyak. Pada lemak C:O = 8,5:1 dan H:O = 16,3:1, sedangkan pada KH C:O = 1:1 dan H:O = 2:1. Dengan banyaknya unsur C dan H ini menyebabkan energi yang dikandung lemak lebih tinggi dari pada KH.

Fungsi Lemak Dalam Tubuh Ayam :
a. Sebagai sumber dan cadangan energi (sama dengan KH).
b. Penahan terhadap temperatur lingkungan yang tinggi.
c. Kandungan dari membran sel.
d. Pelindung organ-organ dalam tubuh terhadap benturan dari luar.
e. Membantu penyerapan vitamin A, D, E dan K yang larut dalam lemak.

Lemak Dapat Larut Dalam Pelarut Organik Seperti :
• Ether
• Chloroform
• Hexana
• Benzena

BEDA LEMAK DENGAN MINYAK :
1. Lemak merupakan senyawa gliserol ester yang padat pada suhu kamar
2. Lemak banyak mengandung asam lemak jenuh dan asam-asam lemak rantai panjang, sehingga ia padat pada suhu kamar. Lemak juga banyak mengandung digliserida dan trigliserida. Lemak biasanya banyak terdapat pada hewan.
3. Minyak juga senyawa gliserol ester, tetapi cair pada suhu kamar
4. Minyak banyak mengandung asam lemak tak jenuh dan asam lemak rantai pendek, sehingga ia cair pada suhu kamar.
5. Minyak juga banyak mengandung asam-asam lemak bebas dan monogliserida. Minyak ini biasanya banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan

KLASIFIKASI LEMAK :
1. Lemak sederhana (simple lipid ), yaitu gabungan antara asam-asam lemak dengan alkohol (gliserol dan kholesterol)
Contoh: trigliserida.
Di samping itu ada pula ester asam lemak dengan alkohol rantai panjang yang disebut dengan lilin (wax). Lilin ini tidak penting bagi unggas.
2. Lemak majemuk (compound lipid), yaitu gabungan antara dua asam lemak dengan alkohol (gliserol) ditambah fosfat, choline, serine dan lain-lain
Contoh: lecithin, cephalin dan sphyngomyelin.
3. Lemak derivatif (derived lipid), yaitu senyawa-senyawa yang berasal dari perubahan lemak
Contoh: asam lemak, gliserol, sterol (kholesterol, sitosterol, ergosterol) dll.

SUMBER ASAM LEMAK:
1. Hasil pemecahan lemak tubuh oleh enzim lipase, sehingga terbentuk asam lemak dan gliserol.
2. Hasil sintesis asam lemak dalam tubuh yang terbuat dari asetil CoA.
3. Dari bahan makanan yang diserap dalam bentuk asam lemak bebas

JENIS-JENIS ASAM LEMAK BERDASARKAN JUMLAH ATOM C :
Asam lemak dengan 2 atom C sampai dengan 24 atom C, bahkan menurut catatan terakhir ada asam lemak dengan 34 atom C, tetapi belum begitu dikenal peranannya dalam tubuh.

JENIS-JENIS ASAM LEMAK BERDASARKAN IKATAN RANGKAP :
a. Asam lemak jenuh yaitu tidak memiliki ikatan rangkap dengan rumus kandungan C, H dan O sebagai berikut: C(n) : H(2n) : O(2).
b. Asam lemak tak jenuh yaitu memiliki ikatan rangkap. Dimulai pada asam lemak dengan 16 atom C yang mempunyai hanya satu ikatan rangkap, contohnya asam lemak palmitoleat. Asam lemak dengan 18 atom C memiliki sampai 3 ikatan rangkap, asam lemak dengan 20 atom C mempunyai sampai 5 ikatan rangkap dan seterusnya.

Bahan Makanan Sumber Lemak :
• Tumbuh-tumbuhan: kelapa, kelapa sawit, jagung, kedelai dan biji bunga mahari
• Hewan: babi, sapi dan ikan
• Lemak atau minyak dari bahan-bahan di atas sering ditambahkan dalam ransum yang dapat digunakan sebagai sumber energi bagi ternak ayam.

Zat-zat Makanan Sebagai Sumber Lemak:
Ternak unggas dapat mensintesis lemak dalam tubuhnya. Lemak ini dapat disintesis dari 3 macam zat makanan yaitu :
a. dari asam lemak bebas dan gliserol
b. dari KH (glukosa)
c. dari protein (asam-asam amino)

PENCERNAAN DAN PENYERAPAN LEMAK OLEH UNGGAS

PENCERNAAN :

Pencernaan lemak terjadi pada usus halus yaitu pada bagian duodenum. Enzim yang mencerna yaitu lipase yang berasal dari prolipase yang tidak aktif, dan diaktifkan oleh enzim colipase. Enzim lipase dihasilkan oleh pankreas

Lipase pada anak ayam belum begitu aktif. Aktivitas lipase ini mulai meningkat pada umur 4 hari dan peningkatannya sangat cepat, mencapai 100 kali pada umur 21 hari
Pencernaan lemak dibantu oleh garam-garam empedu dan cairan pankreas yang kerjanya mengemulsifikasi lemak sebelum dicerna.

Hasil pencernaan lemak :
- tiga asam lemak bebas + gliserol, atau
- dua asam lemak bebas + monogliserida, atau
- satu asam lemak bebas + digliserida
Lipase pankreas biasanya mencerna lemak dimulai pada asam lemak pada atom C nomor 3 dari gliserol, menghasilkan 1,2-digliserida, lalu asam lemak pada atom C nomor 1, menghasilkan 2-monogliserida
2-monogliserida ini tidak bisa langsung dipecah oleh lipase menjadi asam lemak bebas dan gliserol, tetapi mengalami isomerisasi terlebih dahulu menjadi 1-monogliserida
Selain dari lipase, pankreas juga menghasilkan enzim kholesterol esterase yang menghidrolisis kholesterol asam lemak ester menjadi kholesterol dan asam lemak bebas

PENYERAPAN
Asam-asam lemak rantai pendek dan gliserol langsung diserap pada sel mukosa usus halus

Asam lemak rantai panjang, monogliserida, digliserida dan kholesterol diemulsifikasi terlebih dahulu oleh garam-garam empedu membentuk micelle (misel) sebelum diserap.

Garam-garam empedu berupa : glikokholat dan taurokholat yang terbuat dari kholesterol ditambah glisin atau taurinm, dibuat di hati dan dialirkan ke duodenum usus halus melalui saluran dari kantung empedu ke duodenum.

Ada dua Teori tentang penyerapan ini :
a. Misel langsung diserap oleh usus halus.
b. Misel tidak langsung diserap oleh ususn halus, tetapi dipecah dulu pada permukaan mukosa usus halus.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencernaan dan Penyerapan Asam Lemak :
a. Panjang rantai atom C, makin panjang rantai atom C, makin sulit dicerna dan diserap
b. Tingkat kejenuhan, makin jenuh asam lemak, makin sulit dicerna dan diserap
c. Ada tidaknya ikatan ester, asam lemak bebas atau yang tidak berikatan dengan ester gliserol sulit diserap
d. Posisi asam lemak pada trigliserida, asam lemak pada posisi atom C nomor 2 pada trigliserida lebih mudah diserap karena mudah membentuk misel.
e. Umur ayam, ayam yang lebih muda lebih sulit mencerna lemak dan menyerap asam lemak, terutama untuk asam lemak jenuh.
f. Pembentukan sabun dari asam lemak dengan mineral seperti Ca dan Mg menghalangi pencernaan dan penyerapan
g. Ketidakmurnian lemak atau lemak yang tercemar dengan senyawa lain seperti ‘erusic acid’ dan ‘cyclopropenoid’ dapat menurunkan kecernaan.
h. pH dalam lumen usus halus yang rendah atau terlalu asam menurunkan kecernaan lemak.
i. Infeksi pada usus halus seperti coccidiosis menurunkan kecernaan lemak.
j. Populasi mikroba tertentu dapat menurunkan kecernaan lemak.
k. Kandungan serat kasar yang tinggi dalam makanan menurunkan kecernaan lemak

Pengangkutan Lemak dalam Tubuh Ayam:
• Sistem pengakutan lemak dalam tubuh berbeda antara ayam dan hewan mamalia, khususnya pengangkutan asam lemak rantai panjang
• Pada mamalia dalam bentuk chylomicron (trigliserida + fosfolipid + kolesterol + apoprotein)
• ditransport ke hati melalui sistem limfe
• Pada ayam terbentuk ‘portomicron’ yang ditransport ke hati melalui pembuluh darah. Untuk asam lemak rantai pendek

Penggunaan Lemak Tubuh
• Lemak dalam sel tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam-asam lemak bebas.
• Gliserol akan dipakai dalam pembentukan glukosa melalui proses glukoneogenesis sebagai berikut:
• Gliserol + ATP ------ Gliserol 3-P ------- DHAP + Gliseraldehid 3-P --------- Fruktosa 1,6 difosfat ------  Fruktosa 6-P -------- Glukosa 6-P -----  Glukosa
• Gliserol juga bisa dipakai sebagai sumber energi karena dari DHAP bisa terus menjadi piruvat sebagai berikut:
• DHAP ------- Gliseraldehid 3-P ----------- 3-fosfogliseroilfosfat ----------- 3-fosfogliserat ------- 2-fosfogliserat ---- Fosfoenolpiruvat -------- Piruvat ------ Asetil-Co-A ------- masuk ke siklus krebs.
• Asam lemak akan dipakai sebagai sumber energi melalui proses pemecahan yang disebut dengan beta-oksidasi yang terjadi dalam mitochondria dengan hasil ahirnya asetil Co-A yang juga memasuki siklus Krebs

Penambahan Lemak dalam Ransum Ayam :
Fungsinya:
1. Sebagai sumber energi bagi ayam.
2. Untuk menghindari berdebunya ransum.
3. Untuk membantu dalam penyebaran zat-zat makanan yang halus dan larut lemak dalam ransum.
4. Untuk meningkatkan palabilitas ransum.
5. Untuk lubrikasi dalam pembuatan ransum
Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan jumlah energi yang diperoleh oleh ayam, terutama ayam dewasa. Hal ini diistilahkan dengan extra metabolic effect dan extra caloric effect.

Extra Metabolic dan Extra Caloric Effect :
Kejadiannya adalah sebagai berikut:
• Pemberian lemak dapat menurunkan laju makanan dalam saluran pencernaan, sehingga makanan memperoleh kesempatan yang luas untuk dicerna dan diserap. Dengan demikian jumlah energi yang diperoleh ayam meningkat. Hal ini dinamakan dengan extra metabolic effect.
• Heat Increment (panas yang hilang) pada lemak lebih rendah dari KH, sehingga akan menghemat penggunaan energi. Dengan demikian energi yang dimanfaatkan ayam meningkat. Hal ini dinamakan extra caloric effect

Kualitas Lemak :
• Ketengikan (rancidity), yaitu lemak yang telah mengalami kerusakan karena oksidasi oleh oksigen atau karena hidrolisis oleh enzim yang dihasilkan mikroba.
• Kemurnian lemak yaitu lemak yang tidak tercampur dengan zat-zat lain seperti: serat, bulu, tulang, tanah dan lain-lain.
• Jumlah asam lemak bebas yang terlalu banyak dapat merusak peralatan pengaduk ransum.
• Lemak yang tidak bisa disaponifikasi, misalnya senyawa sterol, hidrokarbon, pigmen dan sebagainya bisa menurunkan kualitas lemak.

Penilaian kualitas lemak :
• Nilai MIU (moisture = kandungan air, impurities = ketidakmurnian, dan unsaponifiable = ketidakmampuan untuk penyabunan). Nilai MIU menggambarkan kandungan air, zat-zat pencemar dan ketidakmampuan untuk mengalami penyabunan jika bertemu dengan Ca atau Mg. Nilai MIU lemak yang baik biasanya 2% atau kurang.
• IPV (Initial Peroxide Value) yaitu nilai peroksida lemak. Nilai IPV lemak biasanya <>
• Nilai AOM ( the 20-hour active oxygen method) yaitu nilai yang menggambarkan ketahanan lemak terhadap oksidasi. Jika nilai AOM > 25 berarti lemak tidak distabilkan dengan anti-oksidan.

Ketengikan Pada Bahan-bahan Makanan Sumber Lemak :

1. Proses oksidasi ini terdiri atas tiga fase yaitu:
a. Fase awal, pada fase ini oksigen bergabung dengan asam lemak tak jenuh membentuk hidroperoksida dan radikal-radikal bebas yang sangat reaktif. Fase ini akan terjadi jika terdapat zat oksidator, logam seperti Fe dan Cu, atau enzim seperti lipoksigenase. Panas dan cahaya juga akan mempercepat oksidasi. Produk reaktif dari fase awal ini akan bereaksi dengan molekul lipid lainnya.
b. Fase propagasi, pada fase ini produk dari fase awal akan menyerang molekul-molekul lipid lainnya, sehingga terjadi auto-oxidation.
c. Fase akhir, pada fase ini terbentuk senyawa yang tidak begitu reaktif seperti hidrokarbon, aldehid dan keton.

Bahan makanan yang mengalami oksidasi nilai energinya menurun karena:asam lemaknya jadi rusak dengan terbentuknya radikal bebas dan peroksida-peroksida asam lemak yang kalau berlanjut terus menghasilkan senyawa hidrokarbon, aldehid dan keton.
Untuk mengatasi oksidasi diperlukan zat-zat anti-oksidan alami seperti : vitamin E, vitamin C, beta-karoten dan lain-lain, atau zat-zat anti oksidan buatan seperti : ethoxyquin (6-ethoxy-1,2-dihydro-2,2-4-trimethylquinoline), propylgallat, butylated-hydroxy-toluene (BHT), butylated-hidroxy-annisol (BHA) dan sebagainya.

2. Hidrolisis
Disebabkan oleh mikroba yang menyerang bahan makanan tersebut sehingga lemaknya terurai menjadi asam-asam lemak bebas atau digliserida atau monogliserida dan gliserol.
Nilai gizi bahan pakan tidak turun karena produk-produk yang terbentuk dapat dimanfaatkan oleh unggas.

Asam Lemak yang Sering Dijumpai dalam Ransum Ayam
Asam-asam lemak jenuh:
asam laurat ( C 12 : 0)
asam miristat ( C 14 : 0)
asam palmitat ( C 16 : 0)
asam stearat ( C 18 : 0)
Asam-asam lemak tak jenuh:
asam palmitoleat (C 16 : 1)
asam oleat (C 18 : 1)
asam linoleat (C 18 : 2)
asam linolenat (C 18 : 3)
asam arachidonat(C 20 : 4)
asam lemak yang betul-betul esensil bagi ayam hanya linoleat.

Efek Kekurangan Asam Lemak Linoleat pada Unggas :
a. Menurunnya integritas membran karena sebagian besar komponen dari membran terbuat dari asam-asam lemak.
b. Meningkatnya kebutuhan air minum.
c. Menurunnya ketahanan tubuh terhadap serangan penyakit.
d. Menurunkan produksi sperma.
e. Menurunkan fertilitas.
f. Menurunkan perkembangan embrio dalam telur.

Sintesis Arachidonat dari Linoleat :
Asam lemak linolenat juga dipakai untuk biosintesis asam lemak arachidonat
Asam lemak arachidonat tergolong kedalam asam lemak dengan atom C sebanyak 20 yang secara umum disebut eikosanoat

Eikosanoat ada 2 macam:
a. Prostanoid, yang terdiri atas: prostaglandin, prostasiklin dan thromboxan.
b. Leukotrin.

Senyawa eikosanoat diproduksi hampir pada setiap jaringan dalam tubuh dan ia merupakan senyawa yang penting sebagai hormon. Pada unggas senyawa eikosanoat ini penting sebagai:
1. Pertahanan tubuh.
2. Perkembangan tulang.
3. Perkembangan reproduksi.
4. Perkembangan embrio

Baca Selengkapnya..